Rabu, 07 Desember 2011

Tata Cara Sholat Berjama'ah

Dalil Sholat Berjama'ah :
Tidak diragukan lagi bahwa meninggalkan shalat jama’ah tanpa udzur adalah termasuk kemungkaran yang wajib diingkari. Karena shalat lima waktu di masjid dengan berjama’ah adalah kewajiban bagi laki-laki. Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang sangat banyak, diantaranya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan kemudian dia tidak datang (ke masjid untuk shalat berjama’ah), maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada udzur/halangan” [HR Ibnu Majah-pent]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni dan lain-lain dengan sanad jayid dishahihkan oleh Imam Hakim.
Dan diriwayatkan juga dalam sebuah hadits shahih bahwa.
“Artinya : Ada seorang laki-laki buta datang kepada Nabi dan berkata : ‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya tidak mempunyai seorang penuntun yang bisa menuntun saya ke masjid. Adakah keringanan bagi saya untuk shalat di rumah ? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : Apakah kamu mendengar panggilan adzan? Orang itu menjawab : Ya. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : kalau begitu kamu wajib datang ke masjid” [HR Muslim : 1044]
Dan hadits-hadits yang semakna dengan ini jumlahnya cukup banyak.
Oleh karena itu, seorang muslim apabila dinasihati oleh saudaranya, dia tidak boleh marah dan tidak boleh menolak kecuali dengan cara yang baik. Justru sepatutnya dia berterima kasih kepada saudaranya yang mengajak kepada kebaikan dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia tidak boleh bersikap sombong terhadap orang yang mengajak kepada kebenaran, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela dan mengancam orang yang bersifat seperti ini dengan azab Jahannam, sebagaimana firman-Nya.
“Artinya : Dan apabila dikatakan kepadanya : Bertakwalah kepada Allah, bangkitlah kesombongannya berbuat dosa. Maka cukuplah Jahannam baginya dan itulah sejelek-jelek tempat” [Al-baqarah ; 206]
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi petunjuk kepada seluruh kaum muslimin.
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penerjemah Abu Abdillah Abdul Aziz, Penerbit At-Tibyan Solo]

Syarat-syarat Sholat Berjama'ah

Sholat jama’ah merupakan amaliyah sholat yang sangat dianjurkan oleh agama, khususnya dalam sholat fardhu. Hal ini dikarenakan pahala orang yang melakukan sholat fardhu dengan berjama’ah itu lebih banyak daripada melakukannya dengan sendirian dengan perbandingan 27:1 derajat. Ini disebutkan dalam hadits Rosulullah SAW., yang artinya “ Sholat berjama’ah (dalam sholat fardhu) itu lebih utama daripada sholat sendiri dengan dengan selisih 27 derajat ”. Selain itu juga dengan berjama’ah sholat kita lebih terjamin untuk diterima oleh Allah SWT.
Oleh karena itu ulama’ ahli fiqh mengatakan bahwa sholat jama’ah itu hukumnya sunnah muakkad (menurut mayoritas syafi’iyah), fardlu kifayah (menurut imam Nawawi al-Bantani), dan bahkan ada yang berpendapat fardhu ‘ain. Sholat berjama’ah itu akan lebih sempurna fadhilahnya bila dilakukan dengan khusyu’ dan memenuhi syarat-syarat jama’ah atau mengikuti imam (iqtida’).
Adapun syarat-syarat iqtida’ dalam kitab Nihayatuz Zein karangan imam Nawawi al-Bantani ada 12 bagian:
  • Makmum wajib niat umtuk mengikuti atau berjama’ah dengan imam, yang mana niat tersebut dilakukan bersamaan dengan takbirotul ihrom. Jika dia meninggalkan niat tersebut atau ragu-ragu dengan jangka waktu yang lama, sedangkan dia tetap mengikuti imam dalam semua gerakannya (dengan sengaja) maka sholat orang tersebut menjadi batal.
      Begitu juga bagi imam, wajib berniat untuk menjadi imam dalam sholat jum’at, sholat yang dijama’ sebab turun hujan yang deras, dan sholat mu’addah (sholat yang diulangi). Selain dari ketiga sholat tersebut untuk berniat menjadi imam hukumnya sunnah termasuk pada sholat fardhu yang lima waktu dilakukan sehari semalam itu.
  • Tidak boleh tumitnya makmum itu berada lebih depan daripada tumitnya imam. Hal ini bila makmum berada di samping kanan atau kirinya imam dan jumlah makmum hanya 1-2 saja. Mungkin ini terjadi karena pada awalnya makmum hanya 1 orang atau makmum datangnya menyusul (datangnya tidak bersamaan dengan takbirotul ihromnya imam). Bila makmum yang berjama’ah itu banyak (lebih dari 2 orang) sejak awal didirikannya jama’ah maka lebih baik membentuk barisan (shof) di belakang imam, dengan syarat jarak antara imam dan makmum tidak lebih dari 3 dziro’ (±130 cm).
Adapun shof yang lebih utama adalah shof yang lebih dekat dengan imam, kemudian sebelah belakang kanan dari imam jika sudah penuh baru sebelah belakang kirinya imam. Hukumnya makruh bagi seorang makmum yang membuat shof sendiri padahal shof di depannya masih cukup, karena hal ini mengakibatkan hilangnya/ habisnya fadhilah jama’ah.
  • Mengetahui pindahnya gerakan dari imam secara langsung atau dengan perantara. Misalkan: melihat shof di depannya, mendengar suara imam baik lewat pengeras suara atau dari muballigh (orang yang menyambung suara takbirnya imam) yang tsiqoh(dapat dipercaya), dan lain-lain.
  • Berkumpulnya imam dan makmum dalam satu tempat. Maksudnya antara imam dan makmum dan atau antara shof  satu dengan shof yang lain jaraknya tidak lebih dari 300 dziro’ (± 130 m), hal ini disyaratkan bila mereka berada di satu tempat yang lapang. Tapi bila mereka berada di dalam masjid maka tidak disyaratkan demikian.
Bila antara imam dan makmum tidak berada dalam satu tempat, misal: imam ada di masjid dan makmum berada di kamar/rumah yang bersebelahan dengan masjid, maka disyaratkan tidak adanya penghalang untuk sampai pada imam. Contoh penghalang: tembok, pintu atau jendela yang ditutup dengan dipaku atau dikunci.
Ada satu masalah, bagaimana jika imam berada di lantai bawah dan makmum berada di lantai atas atau sebaliknya? Jawabannya : bila tangganya itu ada di dalam masjid maka tidak ada syarat apapun, meskipun jalan untuk sampai ke imam itu berbelok-belokdan sampai membelakangi qiblat. Tetapi bila tangga penyambung tersebut di luar kawasan bangunan masjid (maksudnya bangunan tersebut bukan termasuk bagian yang dinamakan masjid), maka disyaratkan seumpama makmum itu berjalan melewati jalan tersebut untuk menuju ke imam tidak sampai membelakangi qiblat. Jika tidak demikian maka mengakibatkan tidak sah jama’ahnya makmum tersebut. Kalau makmum tersebut ini tetap memaksa untuk berjama’ah (dengan kondisi tersebut di atas) dan dia tahu kalau berjama’ahnya itu sudah tidak sah, maka sholatnya akan menjadi batal.
  • Makmum harus menyesuaikan dengan imam dalam hal-hal yang sunnah lebih-lebih dalam hal yang wajib. Misalkan imam melakukan sujud tilawah maka makmum juga harus mengikutinya. Bila tidak mengikutinya dan dia tidak berniat untuk mufaroqoh maka sholatnya menjadi batal.
  • Mengakhirkan untuk memulai takbirotul ihrom sampai imam selesai melakukan takbirotul ihrom. Ini disebabkan jika makmum melakukannya bersamaan dengan imam maka hukumnya haram.
Dalam hal ini yang masih termasuk bagian dari nomer 5 dan 6 adalah tidak bolehnya makmum melakukan takholluf (ngéri/nelat: dalam bhs jawa) dari imam sampai 2 rukun fi’ly dengan tanpa ada udzur atau takholufnya lebih dari 3 rukun yang panjang (yaitu: ruku’ dan 2 sujud). Apalagi mendahului imam secara sengaja juga tidak boleh. Apabila hal ini terjadi dengan ketidaksengajaan dari makmum maka dia wajib kembali untuk menyesuaikan dengan imam. Contoh: ketika makmum setelah membaca surat al-fatihah, karena dia setengah melamun dia langsung melakukan ruku’. Padahal imam masih dalam keadaan berdiri sambil membaca surat-surat pendek. Maka wajib bagi makmum tersebut -ketika sadar bahwa imam belum ruku’- untuk kembali berdiri menyesuaikan dengan pekerjaannya imam.
      Berbeda dengan hal di atas, bila keyakinan imam berbeda dengan keyakinannya makmum dalam hal jumlah rokaat misalnya, maka wajib bagi makmum berpegang pada keyakinannya bilamana makmum yang lainnya juga sama dengannya. Contoh: ketika  pada roka’at ketiga sholat maghrib, makmum sudah yakin kalau roka’at yang dilakukannya itu adalah roka’at terakhir sholat maghrib. Tiba-tiba setelah melakukan tahiyat imam berdiri menambah satu roka’at lagi, mungkin karena tidak mendengar bacaan tasbih dari makmum yang mengingatkan atau memang dia yakin bahwa jumlah roka’at yang dikerjakan itu masih roka’at  ke-2 dari sholat maghrib. Maka bagi makmum yang demikian ini boleh melakukan mufaroqoh dari imam atau menunggunya dalam duduk tasyahud akhir sampai imam melakukan salam. Tetapi menurut jumhur ulama’ tindakan terakhir itulah yang lebih utama.
      Alhasil muqoronah (menyamai dalam perbuatan dan ucapan secara bersamaan) bersama dengan imam dalam berjama’ah itu ada 5 hukum:
  1. Haram dan dicegah karena mengakibatkan sholatnya tidak sah. Yaitu: muqoronah dalam takbirotul ihrom bersama imam
  2. Sunnah, yaitu muqoronah dalam membaca amin setelah membaca surat al-fatihah
  3. Makruh yang mengakibatkan hilangnya fadhilah jama’ah. Yaitu: muqoronah dalam seluruh pekerjaan dalam sholat dan salamnya imam
  4. Wajib, yaitu: jika diketahui bahwa kalau dia tidak membaca surat al-fatihah bersamaan dengan imam maka dia tidak akan bisa membacanya dengan lengkap
  5. Mubah/boleh bagi selain yang disebut di atas
(dinukil dari kitab Nihayatuz Zein halaman 127).
  • Makmum tidak boleh mengikuti imam yang diyakini bahwa sholatnya batal. Hal ini dimungkinkan karena berbedanya pendapat madzhab tentang hal yang membatalkan sholat. Contoh: imam yang mengikuti madzhab Hanafi setelah wudlu dia mencium kening istrinya, kemudian langsung melakukan sholat tanpa berwudlu lagi. Dikarenakan menurut mereka hal tersebut tidak membatalkan wudlu. Sedangkan makmum bermadzhab Syafi’i berpendapat bahwa bersentuhan antara kulit laki-laki dan wanita yang bukan mahromnya bisa membatalkan wudlu. Oleh karena itu orang yang ingin menjadi makmum ini setelah tahu keadaan imamnya maka tidak boleh berjama’ah dengan imam tersebut.
  • Tidak boleh bermakmum pada orang yang masih bermakmum dengan imam di depannya. Jadi jika ingin berjama’ah langsung saja berniat jama’ah dengan imam yang ada di depan. Kecuali bila ada makmum masbuq yang ketinggalan 1 roka’at atau lebih, ketika imamnya selesai salam dia menyempurnakan roka’at yang kurang. Ketika dia berdiri ada orang yang bermakmum kepadanya. Maka hal ini diperbolehkan, tetapi bagi orang yang baru bermakmum tersebut tidak mendapat pahala jama’ah, dikarenakan berjama’ahnya orang tersebut tidak diawal sholatnya imam.
Makmum masbuq adalah makmum yang ketinggalan untuk membaca surat al-fatihah secara sempurna dan seterusnya. Jadi jika ada makmum masbuq yang baru ikut berjama’ah, maka dia tidak disunahkan lagi untuk membaca bacaan yang disunahkan seperti: Do’a iftitah dan bacaan ta’awwudz. Tetapi harus langsung melakukan rukunnya sholat yaitu membaca surat al-fatihah. Apabila dia di-pertengahan baca surat al-fatihah dan imam melakukan ruku’ maka wajib baginya untuk ikut ruku’ dan tuma’ninah bersama ddengan imam dengan yakin. Karena jika tidak demikian maka dia tidak dikategorikan orang yang menemui satu roka’at bersama dengan imam. Sesuai dengan sabda Rosulullah SAW yang artinya: “Barang siapa yang menemui satu roka’at sholat sebelum imam bangun (dari ruku’), maka sungguh dia telah menemukan satu roka’at tersebut”.
  • Makmum yang pandai membaca al-Qur’an tidak boleh mengikuti imam yang bodoh (tidak bisa membaca al-Qur’an dengan baik dan benar).
  • Sifat dzatiyahnya imam tidak boleh lebih rendah daripada sifat dzatiyahnya makmum. Contoh: Orang laki-laki bermakmum pada imam wanita.
  • Tidak boleh bermakmum pada orang terkena kewajiban untuk mengulang sholatnya karena sebab tertentu. Seperti: orang yang bertayamum karena udara yang terlalu dingin atau kesepian air, padahal daerah tersebut tidak pernah paceklik atau kehabisan air sebelumnya.
  • Sesuainya/kesesuaian runtutan gerakan imam dan makmum dalam pekerjaan-pekerjaan yang jelas, seperti: takbir, ruku’, sujud, dll. Maka tidak boleh makmum yang sholat fardhu mengikuti imam yang sedang sholat jenazah atau sebaliknya. Tetapi diperbolehkan berbeda niatnya imam dengan makmum. Contoh: Imam niat sholat sunnah qobliyah tapi makmum niat sholat dzuhur atau sebaliknya.
Semoga dengan apa yang telah disebutkan di atas dapat menjadikan koreksi terhadap sholat jama’ah kita masing-masing dan menambah kesempurnaan terhadap ibadah sholat kita. Amien….

Hukum Shalat Berjama'ah
Shalat berjama'ah itu adalah wajib bagi tiap-tiap mukmin, tidak ada keringanan untuk meninggalkannya terkecuali ada udzur (yang dibenarkan dalam agama). Hadits-hadits yang merupakan dalil tentang hukum ini sangat banyak, di antaranya:
"Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu , ia berkata,Telah datang kepada Nabi shallallaahu alaihi wasallam seorang lelaki buta, kemudian ia berkata, 'Wahai Rasulullah, aku tidak punya orang yang bisa menuntunku ke masjid, lalu dia mohon kepada Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam agar diberi keringanan dan cukup shalat di rumahnya.' Maka Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika dia berpaling untuk pulang, beliau memanggilnya, seraya berkata, 'Apakah engkau mendengar suara adzan

(panggilan) shalat?', ia menjawab, 'Ya.' Beliau bersabda, 'Maka hendaklah kau penuhi (panggilah itu)'." (HR. Muslim)
"Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu ia berkata: 'Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, 'Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya' dan shalat Subuh. Seandainya mereka itu mengetahui pahala kedua shalat tersebut, pasti mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Aku pernah berniat memerintahkan shalat agar didirikan kemudian akan kuperintahkan salah seorang untuk mengimami shalat, lalu aku bersama beberapa orang sambil membawa beberapa ikat kayu bakar mendatangi orang-orang yang tidak hadir dalam shalat berjama'ah, dan aku akan bakar rumah-rumah mereka itu'." (Muttafaq 'alaih)
"Dari Abu Darda' radhiallaahu anhu, ia berkata, 'Aku mendengar Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, 'Tidaklah berkumpul tiga orang, baik di suatu desa maupun di dusun, kemudian di sana tidak dilaksanakan shalat berjama'ah, terkecuali syaitan telah menguasai mereka. Maka hendaklah kamu senan-tiasa bersama jama'ah (golongan yang banyak), karena sesungguhnya serigala hanya akan memangsa domba yang jauh terpisah (dari rombongannya)'." (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai dan lainnya, hadits hasan )
"Dari Ibnu Abbas , bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wasallam bersabda, 'Barangsiapa mendengar panggilan adzan namun tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, ter-kecuali karena udzur (yang dibenarkan dalam agama)'." (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya, hadits shahih)
"Dari Ibnu Mas'ud radhiallaahu anhu, ia berkata, 'Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam mengajari kami sunnah-sunnah (jalan-jalan petunjuk dan kebenaran) dan di antara sunnah-sunnah tersebut adalah shalat di masjid yang dikuman-dangkan adzan di dalamnya." (HR. Muslim)

Keutamaan Shalat Berjama'ah
Shalat berjama'ah mempunyai keutamaan dan pahala yang sangat besar, banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan hal tersebut di antaranya adalah:
"Dari Ibnu Umar radhiallaahu anhuma , bahwasanya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, 'Shalat berjama'ah dua puluh tujuh kali lebih utama daripada shalat sendirian." (Muttafaq 'alaih)
"Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, ia berkata,'Bersabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam, 'Shalat seseorang dengan berjama'ah lebih besar pahalanya sebanyak 25 atau 27 derajat daripada shalat di rumahnya atau di pasar (maksudnya shalat sendi-rian). Hal itu dikarenakan apabila salah seorang di antara kamu telah berwudhu dengan baik kemudian pergi ke masjid, tidak ada yang menggerakkan untuk itu kecuali karena dia ingin shalat, maka tidak satu langkah pun yang dilangkahkannya kecuali dengannya dinaikkan satu derajat baginya dan dihapuskan satu kesalahan darinya sampai dia memasuki masjid. Dan apabila dia masuk masjid, maka ia terhitung shalat selama shalat menjadi penyebab baginya untuk tetap berada di dalam masjid itu, dan malaikat pun mengu-capkan shalawat kepada salah seorang dari kamu selama dia duduk di tempat shalatnya. Para malaikat berkata, 'Ya Allah, berilah rahmat kepadanya, ampunilah dia dan terimalah taubatnya.' Selama ia tidak berbuat hal yang mengganggu dan tetap berada dalam keadaan suci'." (Muttafaq 'alaih)

Berjama'ah dapat dilaksanakan sekalipun dengan seorang makmum dan seorang imam
Shalat berjama'ah bisa dilaksanakan dengan seorang makmum dan seorang imam, sekalipun salah seorang di antaranya adalah anak kecil atau perempuan. Dan semakin banyak jumlah jama'ah dalam shalat semakin disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Dari Ibnu Abbas radhiallaahu anhuma , ia berkata, 'Aku pernah bermalam di rumah bibiku, Maimunah (salah satu istri Nabi shallallaahu alaihi wasallam), kemudian Nabi shallallaahu alaihi wasallam bangun untuk shalat malam, maka aku pun ikut bangun untuk shalat bersamanya, aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarik kepalaku dan menempatkanku di samping kanannya'." (Muttafaq 'alaih)
"Dari Abu Sa'id Al-Khudri dan Abu Hurairah radhiallaahu anhuma, keduanya berkata, 'Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, 'Barangsiapa ba-ngun di waktu malam hari kemudian dia membangunkan isterinya, kemudian mereka berdua shalat berjama'ah, maka mereka berdua akan dicatat sebagai orang yang selalu berdzikir kepada Allah'." (HR. Abu Daud dan Al-Hakim, hadits shahih)
"Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiallaahu anhu, 'Bahwasanya seorang laki-laki masuk masjid sedangkan Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam sudah shalat bersama para sahabatnya, maka beliau pun bersabda, 'Siapa yang mau bersedekah untuk orang ini, dan menemaninya shalat.' Lalu berdirilah salah seorang dari mereka kemudian dia shalat bersamanya'." (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, hadits shahih)
"Dari Ubay bin Ka'ab radhiallaahu anhu, ia berkata, 'Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, Shalat seseorang bersama orang lain (berdua) lebih besar pahalanya dan lebih mensucikan daripada shalat sendirian, dan shalat seseorang ditemani oleh dua orang lain (bertiga) lebih besar pahalanya dan lebih menyucikan daripada shalat dengan ditemani satu orang (berdua), dan semakin banyak (jumlah jama'ah) semakin disukai oleh Allah Ta'ala'." (HR. Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai, hadits hasan).

Hadirnya Wanita Di Masjid dan Keutamaan Shalat Wanita Di Rumahnya
Para wanita boleh pergi ke masjid dan ikut melaksanakan shalat berjama'ah dengan syarat menghindarkan diri dari hal-hal yang membangkitkan syahwat dan menim-bulkan fitnah, seperti mengenakan perhiasan dan menggu-nakan wangi-wangian. Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda:
"Janganlah kalian melarang para wanita (pergi) ke masjid dan hendaklah mereka keluar dengan tidak me-makai wangi-wangian." (HR. Ahmad dan Abu Daud, hadits shahih) Dan beliau juga bersabda:

"Perempuan yang mana saja yang memakai wangi-wangian, maka janganlah dia ikut shalat Isya' berjama'ah bersama kami." (HR. Muslim) Pada kesempatan lain, beliau juga bersabda:
"Perempuan yang mana saja yang memakai wangi-wangian, kemudian dia pergi ke masjid, maka shalatnya tidak diterima sehingga dia mandi." (HR. Ibnu Majah, hadits shahih) Beliau juga bersabda:
"Jangan kamu melarang istri-istrimu (shalat) di masjid, namun rumah mereka sebenarnya lebih baik untuk mereka." (HR. Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim, hadits shahih) Dalam sabdanya yang lain:
"Shalat seorang wanita di salah satu ruangan rumahnya lebih utama daripada di bagian tengah rumahnya dan shalatnya di kamar (pribadi)-nya lebih utama daripada (ruangan lain) di rumahnya." (HR. Abu Daud dan Al-Hakim) Beliau bersabda pula:
"Sebaik-baik tempat shalat bagi kaum wanita adalah bagian paling dalam (tersembunyi) dari rumahnya." (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, hadits shahih)









Tidak ada komentar:

Posting Komentar